Sabtu, 17 Oktober 2015

DR.SETO MULYADI.PSI,MSI

Diposting oleh Unknown di 12.16

DR.SETO MULYADI.PSI,MSI merupakan salah satu Dosen di Universitas Gunadarma yang mengajar di Fakultas Psikologi.Seto Mulyadi yang kemudian dikenal sebagai Kak Seto menikmati masa kecil yang bahagia bersama keluarga. Posisi ayahnya, Mulyadi yang menjabat sebagai Direktur perkebunan negara di Klaten bisa membuat keluarganya hidup berkecukupan. Pria kelahiran Klaten,Jawa Tengah, 28 Agustus 1951 ini memiliki saudara kembar, dr. Kresna Mulyadi dan seorang kakak, Makruf Mulyadi yang menjadi anggota ABRI.

Diantara ketiga saudara kandungnya itu, Seto dianggap yang paling lemah secara fisik. Bayangkan saja, saat Kresna (saudara kembarnya) sudah bisa berjalan, Seto belum. Bahkan, Seto harus menenggak banyak vitamin agar bisa tumbuh besar dan sehat.

Namun siapa yang menduga jika keadaannya yang lemah secara fisik, tersisih dan kurang sehat membuat dia memiliki keteguhan hati dan sifat 'tahan banting'. Malahan, Seto dikenal sebagai anak yang cukup nakal. "Saya belum pernah lihat sampai hari ini ada anak sebandel saya waktu kecil. Bayangkan saja, usia 4 tahun kepala saya sudah bocor gara-gara naik-naik pohon dan tangan luka akibat naik sepeda jungkir balik segala macam," kenang Seto.


Akibat kebengalannya, Seto pernah jatuh saat bermain sampai kening kirinya sobek. Untuk menutupi bekas jahitan, potongan rambutnya dibuat ala The Beatles. Sampai dewasa, ketika sudah menjadi Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, 
Seto Mulyadi tetap setia dengan model rambutnya.

Karena kenakalannya itu pula maka oleh orangtuanya, Seto dimasukkan ke dalam berbagai kelompok kegiatan anak-anak setiap sore setiap hari, mulai dari kegiatan kepramukaan, tari Jawa sampai kungfu. "Waktu itu yang diterima mula-mula hanya orang Chinese saja, saya protes kenapa waktu itu saya tidak boleh ikutan kungfu. Kamu kan bukan orang Indonesia jadi saya usir dari sini dan akhirnya saya diperbolehkan ikutan kungfu," katanya tertawa.

Namun sayang, perjalanan hidup Seto di masa muda berubah menjadi penuh liku yang pahit. Ayahnya meninggal pada 1966 saat Seto masih berusia 14 tahun. Ekonomi keluarganya pun mulai kembang-kempis. Ibu yang terbiasa hanya mengurus rumah tangga dan anak-anak, tiba-tiba kehilangan tiang utama yang kokoh.



Untuk mengatasi tekanan ekonomi yang berat, Seto terpaksa dititipkan ke rumah bibinya di Surabaya bersama kakak dan saudara kembarnya, Kresna. Di kota buaya tersebut, Seto melanjutkan SMA di St. Louis Surabaya dimana rata-rata muridnya berasal dari kalangan menengah ke atas. Saat memasuki hari pertama sekolah, Seto dan Kresna memakai celana pendek (seragam SMP yang lama di Klaten) sementara yang lain mengenakan celana panjang. Namun, hal itu tak membuat Seto minder sebab ia memang belum memiliki celana panjang.

Selama bersekolah di sana, Seto dan Kresna tidak pernah membawa uang jajan, mengingat untuk membayar uang SPP saja, ibundanya harus bekerja keras. Seto dan Kresna hanya bisa memandangi tingkah laku para teman-temannya yang bisa jajan bakso semaunya. Saat bel tanda masuk kelas berbunyi dan teman-teman bergegas masuk ke kelas, secepat kilat Seto langsung menyambar mangkok-mangkok bakso yang ditinggalkan pembelinya. Tanpa ragu dan malu, ia menghabiskan sisa-sisa yang masih ada. Tentang hal ini, ia pun menceritakan kepada sang ibu yang mengaku sangat sedih mendengarnya.

Demi meringankan beban bibinya, juga untuk memenuhi biaya sekolah, Tong - panggilan akrab Seto dalam keluarganya – nyambi jadi pengasong di jalan-jalan selepas sekolah. Ia aktif pula mengisi sebuah rubrik untuk anak-anak di majalah terbitan Surabaya, Bahagia. Untuk tulisan yang dimuat, ia mendapatkan honor sebesar 500 rupiah. Uang sekolah bagi mereka bertiga masing-masing sebesar 100 rupiah, sehingga masih tersisa 200 rupiah. Namun jumlah itu masih kurang untuk memenuhi kebutuhan mereka. "Di situ saya mulai memakai nama Kak Seto," ujarnya. Sejak itulah, dan sampai sekarang, ia dikenal dengan panggilan Kak Seto.

Kendati sibuk mengais rejeki namun prestasinya di sekolah tak pernah mengecewakan. Bersama saudara kembarnya, Kresna, ia kerap bersaing dalam hal prestasi. "Waktu kelas II di SMA St. Louis Surabaya, saya paspal 2 dia paspal 3 supaya dua-duanya bisa jadi ketua kelas, nah pas kelas 2 rebutan jadi ketua OSIS tapi akhirnya saya yang terpilih. Pokoknya kita sering banget berkompetisi, kalau bikin puisi di Koran Elbahar atau Srikandi, kalau satu dimuat rasanya panas sekali salah satu dari kami," katanya tertawa.

Persaingan tersebut berlanjut hingga lulus SMA. Seto dan Kresna bercita-cita melanjutkan studinya di Fakultas Kedokteran. Tapi, cita-citanya menjadi dokter kandas sebab tidak diterima di fakultas kedokteran Universitas Airlangga. Sementara Kresna diterima di kedokteran dan kakaknya, Makruf, masuk 
Akabri.



Diam-diam, Seto memendam kekecewaan. "Wah saya terpukul. Apalagi kakak saya yang pertama pakai pakaian 
Akabri dan si Kresna dengan bangga pakai jaket almamater kedokteran Airlangga. Sedangkan saya di rumah cuci piring, ngepel dan itu membuat saya tertekan sekali," jelasnya.

Ketidapuasan dalam dirinya karena gagal menjadi dokter membuat Seto nekat meninggalkan rumah dan pergi ke Jakarta. Dengan uang sekadarnya, Subuh, 27 Maret 1970, ia pun berangkat tanpa pamit, hanya meninggalkan surat kepada ibunya.

Tiba di Jakarta sebagai penganggur yang luntang-lantung, Seto menumpang di garasi milik keluarga temannya, yang kebetulan ia kenal di kereta. Di situ ia tidur hanya beralaskan dua keset yang digabung. Dengan bekal ijazah SMA, Seto mulai mendatangi kantor-kantor dan hotel untuk melamar pekerjaan. Penolakan demi penolakan harus dialaminya hingga akhirnya ia menjadi tukang parkir di sekitar Blok M dan tukang batu di daerah Hang Tuah. Seto tak malu menjalani itu semua, baginya yang terpenting pekerjaan itu halal demi sesuap nasi. "Berat sekali keadaan waktu itu, dibentak-bentak dan dimarahi oleh tuan saya," kata pria yang merasa tenang bila dekat ibunya ini.

Hingga suatu hari saat sedang menonton televisi di rumah tempatnya menumpang, Seto tertarik dengan acara "Taman Indria" yang diasuh Bu Kasur di TVRI. Satu hal, kalau melihat orang lain mampu melakukan sesuatu, Seto selalu berpikir, ''Ah, saya juga bisa.'' Lalu dicarinyalah rumah Bu Kasur, dengan niat ngenger (berguru). Tapi saat itu yang ada hanya Pak Kasur. "Di situ saya langsung bilang bahwa saya adalah calon mahasiswa UI. Dan saya mau membantu Pak dan Ibu Kasur untuk menjadi 'cantrik' (istilah dalam pewayangan yang menunjukkan peran sebagai asisten, sering tanpa diupah, hanya untuk menggali pengalaman dari seorang kstaria). Tidak digaji juga tidak apa-apa," ujarnya tertawa.

Sore di hari yang sama, 4 April 1970, pria berkacamata yang murah senyum ini kembali datang ke kediaman Pak Kasur di Jalan Lembang, Menteng. Tidak jauh dari situ terdapat taman dan danau yang digunakan sebagai play group oleh Pak Kasur di sore hari. "Kemudian saya dikenalkan kepada ibu-ibu yang antar anak-anaknya. Sekarang saya punya asisten baru namanya Seto, jadi kita panggil dia Kak Seto," kata Seto meniru ucapan Pak Kasur. Momen tersebut memberikan arti tersendiri bagi Seto sehingga setiap 4 April diperingati sebagai hari pengabdiannya di dunia anak-anak.

Setelah setahun menjadi 'cantrik', Seto berhak mendapatkan gaji seperti guru-guru lain di sekolah Pak Kasur. Seto semakin memantapkan diri di jalurnya tersebut terlebih Pak Kasur selalu menjadi pendorong baginya untuk tetap menekuni dunia anak-anak. "Saya rasa adiklah yang harus melanjutkan perjuangan saya di dunia anak-anak," kenang Seto mengulang ucapan Pak Kasur kepadanya.

Selama menjadi asisten, Seto selalu memperhatikan cara-cara Pak Kasur dalam mendidik anak. Ia menarik kesimpulan bahwa Pak Kasur ingin membentuk anak-
anak Indonesia menjadi anak yang mandiri dan bangga akan dirinya. Keyakinan tersebut sama dengan teori dalam ilmu psikologi. "Seorang anak harus bangga akan dirinya sendiri. Ia tak perlu berpura-pura pandai dalam matematika walaupun sebenarnya tidak," kata Pak Kasur. Selain mengajar anak-anak, Seto membantu Pak Kasur dan tetap aktif menulis di majalah Si Kuncung dengan honor seribu rupiah setiap menulis di tahun 1970-an.

Lewat perkenalannya dengan istri Jenderal AH Nasution, Seto kemudian diterima sebagai pembantu rumah tangga di rumah 
Direktur Bank Indonesia, Soeksmono Martokoesoemo. Semua itu dilakukannya demi mendapatkan penghasilan yang cukup. Berhubung tidak tersedia kamar yang memadai, Seto terpaksa menempati sebuah kamar bekas kandang ayam yang terletak tepat di depan WC. "Baunya minta ampun," ia mengenang. Hampir setiap hari Seto bangun jam 4.30 pagi dan tidur jam 23.00 malam. Dengan kondisi tersebut, ia tak mampu bertahan lama karena ternyata secara fisik ia tidak kuat.

Saat memutuskan untuk keluar dari pekerjaan tersebut, permintaannya itu ditolak mentah-mentah oleh Ibu Soeksmono. Alasannya, ia melihat kesungguhan Seto dalam mengasuh putranya yang sakit polio. Peraih penghargaan The Outstanding Young Person of The World 1987 ini kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi pengasuh anak. Dengan begitu, ia diperkenankan untuk tidur sekamar dengan putra keluarga itu.

Sembari bekerja sebagai pembantu rumah tangga, keinginan Seto untuk menjadi seorang dokter terus bergelora. Tahun 1971, Seto mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Tapi, seperti halnya kala di Surabaya, kali ini pun kegagalan kembali menyertainya. Rasa kecewa kembali memenuhi ruang batinnya, apalagi jika dirinya mengingat Kresna, saudara kembarnya yang lancar-lancar saja kuliah di Fakultas Kedokteran Airlangga, Jawa Timur. Tak ingin larut dalam kesedihan, atas saran Pak Kasur, Seto mendaftar dan diterima di Fakultas Psikologi UI di tahun 1972.

Setelah resmi menjadi mahasiswa psikologi UI, kesibukan Seto kian bertambah. Pagi sebelum ke kampus, ia harus membersihkan rumah dan merawat anak tuannya, lalu berangkat kuliah. Sore harinya harus mendampingi Pak Kasur serta mengasuh acara anak-anak di TVRI. Saking sibuk dan kelelahan, seringkali Seto tertidur di jam kuliah. Akibatnya, ia berhasil meraih gelar sarjana setelah menempuh studi selama 9 tahun.

Bersama Pak Kasur, Seto bisa menumpahkan "obsesi" masa kecilnya: kecintaan pada anak-anak - sesuatu yang berawal dari kerinduan datangnya seorang adik, setelah adiknya yang masih tiga tahun meninggal akibat sakit malaria.

Kala semangatnya menggebu-gebu di dunia anak-anak, Pak Kasur memutuskan untuk menutup Taman Bermainnya karena alasan kesehatan. Mendengar hal itu, Seto terkejut seperti mendengar petir di siang bolong. Seto merasa sedih karena tidak bisa membayangkan anak-anak tanpa taman bermain itu.

Kecintaan pada dunia anak-anak kemudian membuat Seto memberanikan diri mengelola Istana Anak-Anak di Taman Ria Remaja, Senayan. Seto dibantu dua teman kuliahnya, Dini Cokro dan Frieda Mangunsong membuka Istana Anak-Anak itu di tahun 1975. Setiap sore pulang kuliah, Seto bersama dua rekannya itu menemani dan menghibur anak-anak yang datang ke Istana itu.

Seto juga mengaku tidak selalu tahu tentang anak. Dalam kaitan ini, mantan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, Jakarta (1994-1997) ini pernah menuturkan, ''Saya bukan tahu segala hal tentang anak-anak, tapi berusaha untuk tahu tentang mereka.'' Untuk itu, ''Saya memiliki senjata rendah hati, tidak pernah merasa paling berkuasa di keluarga, menghormati mereka sehingga mereka terbuka kepada saya.''
Hari lepas hari, Seto semakin yakin dan serius mencintai dunia anak. Tahun 1978, pria murah senyum dan nyaris tak pernah marah ini mendapat kepercayaan untuk mengasuh acara Aneka Ria Anak-anak di TVRI. Semula ia berpasangan dengan Gatot Sunyoto (dengan boneka Tongky ciptaannya), lalu sempat dipasangkan dengan 
penyanyi papan atas, Rafika Duri atau Hetty Koes Endang hingga akhirnya berduet dengan Henny Purwonegoro.

Dalam acara tersebut, Seto tak sekadar mendongeng tapi juga belajar sambil bernyanyi. Bahkan anak-anak kian kepincut dengan kemahirannya bermain sulap yang memang telah ia pelajari melalui buku sejak masih SD. Sedangkan teknik mendongeng diperolehnya dari penulis dan penutur cerita anak-anak, Soekanto S.A ditambah dengan pengalamannya sendiri. Lewat kreativitasnya, pengagum Mahatma Gandhi serta Napoleon ini juga berhasil menciptakan boneka khas binatang Indonesia yang bernama Komo dan selalu setia menemaninya. Dengan bonekanya Si Komo berikut lagunya, ia pun makin lekat dengan anak-anak. Dan, ekonominya pun mulai membaik, hingga setelah menggondol gelar sarjana psikologi, Seto mengundurkan diri dari keluarga Soeksmono.

Berkat acara itu, para orangtua mendesak Seto untuk mendirikan sekolah sebab anak-anak terlihat senang berguru dengan 
Seto Mulyadi. Maka pada 16 Juni 1982, Seto mendirikan TK Mutiara Indonesia. Alasan menggunakan nama tersebut karena Seto mengganggap anak-anak adalah mutiara bangsa, sekarang dan masa yang akan datang.

Sukses dengan TK Mutiara Indonesia, dua tahun kemudian, mantan Sekjen Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia ini mendirikan Yayasan Nakula Sadewa, wadah untuk para anak kembar dan orangtuanya. Pertimbangannya mendirikan yayasan tersebut adalah tidak semua anak kembar berasal dari keluarga dengan ekonomi mapan.

Dedikasinya di dunia anak-anak membuat namanya kian masyur dan menarik simpati termasuk dari mantan
wanita nomor satu di negara ini, Ibu Tien 
Soeharto. Pada tahun 1984, Seto berhasil memprakarsai didirikannya Istana Anak-
anak Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan diresmikan langsung oleh istri mantan penguasa 
Orde Baru itu.

Pada 1987, Seto menikahi Deviana - yang usianya terpaut 18 tahun – gadis yang dicintainya. Tepat pada hari pernikahan, di saat tamu berdatangan, pengantin baru Seto-Devi melaksanakan nazarnya: mendongeng di panti asuhan.

Dengan membaiknya keadaan ekonomi, Seto membeli rumah tinggal di kawasan Cireundeu tetapi tidak ia nikmati sendiri. Sebagian dimanfaatkan untuk sarana bermain anak-anak. Di lahan seluas 2.000 meter persegi itu ada perosotan atau ayunan, ruang kelas, kolam renang mini, laiknya taman kanak-kanak. Semua ruangan didekorasi dengan warna-warna yang ceria dan benar-benar membuat anak-anak merasa di alam fantasi mereka.

Di situlah keempat buah hatinya, Eka Putri Duta Sari, Bimo Dwi Putra Utama, Shelomita Kartika Putri Maharani, dan Nindya Putri Catur Permatasari menikmati masa kecilnya. ''Sebenarnya, tujuan membuat halaman yang luas adalah supaya anak-anak aktif bermain, menikmati alam dengan bebas serta lepas,'' jelasnya. ''Bila anak-anak terlalu dikekang, akibatnya seperti kuda liar."

Di dalam keluarga, dia menjadikan anak-anaknya sebagai sahabat dan guru. Hubungannya dengan buah hatinya sudah dituangkan dalam buku, 'Anakku, Sahabatku, dan Guruku' (1997). Di buku itu dia menuliskan betapa anak dapat menjadi sahabat dalam berbagi masalah. Anak juga bisa menjadi guru untuk belajar tentang kreativitas, spontanitas, kebebasan berpikir, pemaaf, tidak pendendam, dan mempunyai kasih sayang yang tulus.

Pria yang gemar menggunakan 
busana 

desainerbatik ini berprinsip bahwa pendidikan moral dan akhlak bagi anak bisa diberikan lewat dongeng, selain didapat dari pendidikan formal seperti di sekolah atau melalui agama. "Dari dongeng tersebut membangun suatu kecerdasan moral kepada mereka, bahwa ada yang bisa dilakukan tapi tidak boleh dilakukan. Jadi ada larangan atau aturan-aturan/norma-norma yang diperkenalkan lewat dongeng," ujar Seto.



Hal itu pula yang dilakukan Seto terhadap putra dan putrinya. Di tengah kesibukannya sebagai Aktivis anak, jebolan S2 program Psikologi UI ini tetap berusaha memperhatikan mereka semaksimal mungkin. Misalnya saat menonton televisi. Jika ada waktu luang, Seto berusaha meluangkan waktu menemani putra putrinya menonton. Sebagaimana diketahui bahwa setiap hari anak disuguhi tontonan kekerasan dari televisi. Belum lagi kata dan perilaku yang tidak pantas serta ketidakjujuran yang dibeberkan (media cetak/elektronik) yang membentuk persepsi tertentu di benak anak-anak. "Dalam psikologi belajar dikenal prinsip modeling. Artinya murid dengan mudah akan melakukan suatu perilaku tertentu melalui proses peniruan sang model. Model ini bisa orangtua, guru maupun orang-orang yang dikagumi," terangnya.

Sebagai orangtua, Seto sadar, ia masih banyak kekurangan dalam mendidik anak-anak. Kadang ketika badan lelah dan pekerjaan menumpuk, ia juga emosional. "Tapi yang penting, begitu ia merasa telah melakukan kesalahan, secepat mungkin ia akan meminta maaf pada mereka," katanya tersenyum. Terbukti sikap ini cukup ampuh untuk menunjukkan teladan yang patut ditiru.

Seto juga mengaku tidak selalu tahu tentang anak. Dalam kaitan ini, mantan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, Jakarta (1994-1997) ini pernah menuturkan, ''Saya bukan tahu segala hal tentang anak-anak, tapi berusaha untuk tahu tentang mereka.'' Untuk itu, ''Saya memiliki senjata rendah hati, tidak pernah merasa paling berkuasa di keluarga, menghormati mereka sehingga mereka terbuka kepada saya.''


Sementara di sisi lain, Seto mengaku sangat beruntung karena apa yang dikerjakannya sangat didukung oleh istri dan keempat anaknya. Seto kalau kemana-mana selalu minta ijin kepada mereka. Pernah suatu ketika, Seto diundang oleh salah satu LSM ke 
Aceh untuk menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Berbagai kegiatan yang dia lakukan biasanya ditempel di pintu lemari es. "Tiba-tiba anak saya bingung dan tanya, hari Sabtu mau ke 
Aceh ngapain? Kan belum ada ijin dari kita kok bisa mau berangkat? Kita nggak setuju kan ini akhir tahun di bulan Desember dan kita nggak pernah berlibur. Jadi jangan sok bela hak anak dimana-mana tapi hak anak sendiri dilupakan," kata Seto mengisahkan.

Gagal mengantongi restu anak dan istri, Seto akhirnya menunda perjalanannya ke 
Aceh. Keesokan harinya terjadi sebuah peristiwa memilukan dimana Aceh diterjang tsunami. Hotel yang rencananya akan ditempati Seto di sana telah rata dengan tanah. Tiga atau 4 hari kemudian, Seto mengajak putri sulungnya untuk ikut ke Aceh untuk membantu para korban.

Bagi sang istri, Deviana, Seto adalah suami yang sayang istri dan anak-anak. Tidak hanya anak-anaknya sendiri yang selalu menjadi prioritas dan fokusnya, tetapi juga semua anak-anak dimanapun berada, terutama yang sedang menghadapi masalah.

Seperti kebanyakan pasangan suami istri lainnya, kehidupan rumah tangga Seto juga pernah dirundung masalah pada tahun 2001. "Saya merasa ia terlalu banyak bekerja dan urusan di luar rumah, saya merasa 'ditinggalkan'. Tapi untunglah ini tidak berlangsung lama. Kami berdua menyadari dan mencari solusinya. Pelajaran yang saya dapatkan sungguh amat berharga dan Seto pun menyadarinya. Secara keseluruhan, mendampingi Seto tidaklah sulit," katanya tertawa.

Hal senada juga diungkapkan putri sulung Seto, Eka Putri Duta Sari atau akrab disapa Minuk. "Wah tiada kata yang bisa mewakili perasaan keempat putra putrinya untuk seorang ayah. Bagiku, beliau adalah ayah yang selalu bisa menjadi bapak, guru, teman dan sahabat bagi kami," kata 
perempuan yang mengaku waktu kecil sangat histeris jika melihat ayahnya dikerubungi anak-anak lain.

Lebih lanjut katanya, sang ayah juga tak pernah memilihkan suatu keputusan untuk anak-anaknya, tetapi mengarahkan mereka untuk mengambil keputusan dengan benar. Sang ayah juga tidak pernah membentuk mereka harus seperti beliau nantinya, tetapi itu yang membuat mereka ingin menjadi penerusnya. "Satu pesan yang selalu kami ingat dari seorang yang paling tidak pendendam yang pernah kutemui, apapun yang kalian percayai nanti tapi jangan pernah lupa untuk "selalu berbuat baik," tulis Minuk sebagaimana dikutip dari buku berjudul "Kak Seto: 'Anak-anak Tersenyumlah!'".

Atas pengabdiannya pada dunia anak-anak, yang sampai kapan pun akan terus dilakukannya, Seto telah dianugerahi sejumlah penghargaan. Antara lain Orang Muda Berkarya Indonesia, kategori Pengabdian pada Dunia Anak-anak dari 
Presiden RI (1987), The Outstanding Young Person of the World, Amsterdam; kategori Contribution to World Peace, dari Jaycess International (1987), Peace Messenger Award, New York, dari Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar (1987) dan The Golden Balloon Award, New York; kategori Social Activity dari World Children's Day Foundation & Unicef (1989). Kemudian, walau tak pernah terlintas dalam benaknya, sejak 1998, Seto dipercaya menjadi Ketua Komnas Perlindungan Anak (KPA).

Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komnas Perlindungan Anak (KPA), Seto semakin giat bekerja membela anak-anak. Pasca bencana Tsunami di Aceh misalnya, ia bersama pemerintah merealisasikan pembentukan Trauma Center. Pendirian Trauma Center ini ditujukan untuk menangani gangguan traumatis pada anak-anak Aceh yang menjadi korban bencana alam dahsyat tersebut. Apa yang paling cepat membantu menyembuhkan trauma anak? "Adanya cinta, perhatian, dan dunia indah untuk bermain," kata Seto.

Seto juga merasa prihatin dengan masih banyaknya pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Ironisnya, pelanggaran hak anak tidak hanya terjadi di luar rumah melainkan juga di dalam rumah baik kekerasan fisik yang dilakukan para orangtua, tekanan-tekanan secara psikologis seperti membentak, penelantaran atau eksploitasi dipekerjakan sebagai anak jalanan dan lain-lain. "Semua ini memerlukan suatu komitmen bersama baik pemerintah maupun masyarakat, orangtua, bahkan para guru yang kadang terjadi pembiaran kekerasan sehingga terjadi bullying dan mengatasnamakan pendidikan serta disiplin," jelasnya.

Seto melihat, untuk memerangi kekerasan terhadap anak dibutuhkan suatu gerakan nasional untuk menyadarkan semua pihak dari pemimpin bangsa, orangtua, guru, pejabat, relawan dan sebagainya. Stop kekerasan dan kekejaman terhadap anak. Rencananya gerakan tersebut akan direalisasikan pada Hari Anak Nasional, 23 Juli 2012. Seto berharap pencanangan tersebut mengantongi restu dari Presiden 
Susilo Bambang Yudhoyono mengingat di tahun 1997 lalu, 
Presiden Soeharto berhasil mencanangkan gerakan nasional perlindungan anak dan menghasilkan lembaga perlindungan anak atau dikenal dengan nama Komnas Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Anak.

Seto menyadari, untuk mendapatkan hasil yang maksimal dibutuhkan kerja keras dan waktu. Apalagi, hal ini menyangkut mindset atau pola pikir yang harus diubah. "Salah satu caranya lewat gerakan nasional entah dengan pelatihan-pelatihan untuk para orangtua agar menjadi orangtua yang efektif, bersahabat dengan anak dan sebagainya. Guru pun juga harus ikut pelatihan-pelatihan agar tidak disalahkan mulai dari pendidikan awal di IKIP atau perguruan tinggi agar menjadi guru yang profesional," paparnya. Dengan begitu, orangtua dan guru bisa membimbing anak menjadi pribadi yang baik, membanggakan dan berguna bagi bangsa dan negara.

Seto yang mempunyai motto: bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai anak-anak ini berharap supaya semua orang menganggap setiap hari adalah hari anak. "Bukan cuma tanggal 23 Juli saja, tapi setiap hari adalah hari untuk anak," kata Seto. "Sehingga anak-
anak Indonesia sekarang, apalagi yang terpinggirkan, bisa memperoleh hak-haknya sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dan menjadi putra-putri bangsa yang terbaik untuk bangsanya," tegasnya lagi. 


Sumber : http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/286-direktori/2301-sahabat-anak-anak

0 komentar:

Posting Komentar

 

.....corryws...... Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos